Musyawarah Warga Madawirna XXXII

Suasana Musyawarah Warga Madawirna XXXII

Tebing, Tuhan dan aku

Pemandangan dari pitch 2 tebing parangndog

Pantai

Salah satu pantai barisan pantai yogyakarta selatan

Jalan Terjal

Perjalanan turun dari Kawah Gunung Sumbing

Semburat Cahaya

Pos 7 Gunung Slamet via Bambangan

Rabu, 18 September 2013

The Seeker Of Ratan Ireng

Susur Pantai dari Pantai Siung sampai Pok Tunggal ( Repost )


Mapala UNY, Madawirna

       Sabtu 14 september 2013. Sedikit untuk melepaskan hiruk pikuknya aroma perkotaan yang serba riuh dan sumpek, 8 personil (Krisna W, Londo, Deky, Ncuz, Ebni, Herman, Ade & Ijah) satu diantaranya adalah Koordinator FK UKM berangkat menuju Kabupaten Gunungkidul untuk menjelajahi pantai pasir putih samudra hindia. Demi kelancaran dan keselamatan, tak lupa kami berpamitan dan diantar dengan doa oleh beberapa warga Madawirna. 08.30 wib roda mobil kijang berwarna hijau melaju ke tempat sasaran. Beberapa kali juga mampir ke tempat belanja untuk membeli keperluan logistik. Pukul 11.30 tepatnya kami telah sampai pantai siung setelah beberapa personil tergoncang perutnya akibat jalan yang meliuk-liuk.
         Sebelum memulai perjalanan kami makan siang dulu, mungkin bagi sebagian personil adalah makan siang sekaligus makan pagi. Tapi tak apa, yang peting makan buat ngisi energi. Setelah makan dan packing ulang, kami memulai perjalanan dengan doa. Pukul 12.05 wib kami mulai menyisir pantai siung diantara tebing-tebing yang curam dan bergerigi. Kami harus berhati-hati agar tidak sampai terpeleset apalagi sampai kaki menancap dibatu. Sempat ada bapak-bapak yang sedang mencari rumput memberi tahu kami jalur yang sebaiknya dilalui. Kami pun segera melanjutkan perjalanan. Setelah melalui bukit yang penuh pandan laut, akhirnya kami menemui sebuah pantai pada pukul 13.00 wib.      
     Pantai yang cukup sepi bahkan tanpa penghuni, yang kami tahu di plakat proyek pembangunan jalan tertera nama desa Tepus. Terdapat akses jalan roda 4 sampai ke tempat ini namun hanya corblok. Yang paling mengesankan di tempat ini adalah terdapat kubangan air, dan itu adalah sumber air tawar. Alirannya kecil namun lumayan cepat. Ketika kami diburu panas ternyata menemukan sumber air tawar seperti menemukan air di padangpasir. Kami menikmati suasana di pantai ini, duduk dibawah tumbuhan pandan laut yang sampai berbuah, dihantam semilirnya angin pantai, dan disuguhi segarnya mata air alami. Tapi kami tak boleh tebuai suasana, kami harus segera melanjutkan perjalanan karna ini baru secuil dari perjalanan kami.

Mapala UNY, Madawirna

     Pukul 13.30 wib, kami melanjutkan perjalanan, panas mulai menyengat dan kamiharus tetap berjalan menjalankan misi ini, terus berjalan meskipun pelan-pelan karna ini tujuannya adalah untuk senang-senang. Kami terus menyusuri bukit yang tak berjalan. Tak lama kemudian setelah menuruni bukit, kami menemukan air terjun yang sering disebut Air Terjun Grujukan Manten pada pukul 13.50 wib. Ditempat ini sudah ada pedagang. Akses jalan roda 4 pun ada, meskipun baru corblok. Menurut salah satu pemilik warung sekitar, tempat ini bernama pantai Jogan. Tak lupa kami langsung masuk ke sesi dokumentasi, pose dengan membelakangi pantai lepas masih jadi pose favorit.
         Pukul 14.10 wib kaki masih harus menapaki perbukitan gersang untuk menuju pantai selanjutnya. Tak ada bayangan sedikitpun dari kami tentang apa yang akan kami lewati dan pantai apa yang akan kami temui selanjutnya, semua hanya bersadarkan perkiraan logika. Di etape kali ini, beberapa kali menaiki bukit dan bisa melihat tebing-tebing yang dihantam oleh ombak dengan jelas. Ketika itu kami juga sempat merasakan hawa gunung di lereng bukit pinggir tebing pantai karena terdapat rumput ilalang yang masih berbunga. Ternyata setelah 50 menit kami berjalan belum juga menemukan pantai, akhirnya kami putuskan untuk istirahat dulu sekedar untuk bersembunyi diteriknya matahari karna kami berjalan menghadap kearah matahari. Diatas tebing pantai yang dikelilingi redup pandan laut, kopi hitam turut memberikan kenikmatan. 1 jam istirahat terasa cepat bagi kami dan cukup memberikan efek “PW” apalagi ditambah candaan yang tak usai-usai atas julukan yang kami berikan kepada salah satu personil sebagai “Putri Kulonprogo”. Namun lagi-lagi kami tak boleh larut dalam suasana, kami harus segera menjunjung badan lagi menyusuri berbukitan pantai ini.

Mapala UNY, Madawirna

      Pukul 16.00 wib kami lanjutkan kembali perjalanan. Perjalanan ini lumayan menguras tenaga karena selama satu jam kami harus memutari bukit, menaiki bukit, berjalan di ladang orang. Terkadang kami juga bertemu dengan seseorang yang sedang berladang, mereka dengan senang hati memberikan petunjuk kepada kami meskipun terkadang kami juga tidak tahu arah mana dan tempat apa yang dibicarakan. Namun kami tetap memperkirakan sendiri bagaimana cara agar mencapai target tempat yang akan dituju. Pukul 17.00 wih akhirnya kami tiba di pantai Timang. Sesuai dengan rencana pukul 17.00 wib kami harus istirahat. Pantai ini telah menjadi tujuan wisatawan domestik. Terbukti telah ada MCK yang disediakan untuk pengunjung, meskipun untuk menuju pantai dari jalan harus berjalan kaki ±150 meter. Yang unik dari tempat ini adalah pasir yang berwarna agak kemerahan. Selain itu juga pengunjung bisa menyeberang ke bongkahan batu besar di seberang tebing, masyarakat menyebutnya pulau. Pengunjung tak harus membayar untuk menyeberang kesana. Namun harus berhati-hati dilintasan tersebut karena bisa basah terkena pecahan ombak yang menghambur mengenai keranjang tembat penyeberangan yang ditumpangi pengunjung.
      Setelah sampai di pantai Timang dan berorientasi sebentar kami putuskan malam ini kami harus menginap disini. Lebih tepatnya camping di pinggir pantai (Uyeeeee...!!! berasa anak pantai). Lanjut kami masak berjamaah, masak masih menjadi aktivitas yang menarik untuk dilakoni ketika camping. Karena banyaknya personil kami harus membagi peran. Ada tim nasi, sayur, dan sambal. Meskipun masak di lapangan tak segampang dan sepraktis di dapur rumah, namun justru itu yang manjadi seninya seperti yang diucapkan personil tertua (red: Mas Krisna W), “masak itu harus ribet”. Untuk menu kali ini adalah sayur campur bakso, sambel teri, dan tempe goreng. Mmmm... yummi!! Setelah makan apalagi yang dilakukan kecuali menyalakan api unggun dan menikmati malam. Namun tak diduga cuaca menjadi buruk, langit tertutup mendung, tak ada satu bintang pun yang muncul. Cuaca semakin suram dengan permainan gerimis yang kadang turun, kadang berhenti. Api unggun tetap menyala dan beberapa dari kami tetap bertahan, berharap cuaca buruk hanya lewat saja. Namun semakin larut ternyata malah semakin buruk, hujan turun dan semua sibuk membereskan perlengkapan. Tenda yang kami bawa hanya 1 dan sudah dihuni 4 orang perempuan, sedangkan 4 laki-laki bertarung dengan cuaca dan mencari tempat pertahanan J 2 diteras tenda dan 2 lainnya membuat bivak dibawah pohon sekitar. Penulis hanya bisa bercerita sebatas pandangan mata. Yang jelas semua tentu punya cerita masing-masing tentang malam yang dilewati entah itu suka ataupun super suka atau malah sebaliknya.
         Pagipun menyapa dan masih dengan cuaca mendung ringan. Mungkin ini pertanda baik untuk kami agar perjalanan selanjutnya tidak terlalu kepanasan. Terlihat anak-anak masih pulas tidurnya, mungkin karna efek dipermainkan oleh hujan semalam. Seperti biasa, untuk mengisi energi sebelum melanjutkan perjalanan kami harus masak terlebih dahulu. Masak adalah agenda terpenting jika dilapangan, kenapa? Karna kalau ada yang tidak bisa masak jadi tahu caranya masak. Masak juga memerlukan kerja tim dimana ketika Si Anu mengerjakan ini maka Si Ini harus mengerjakan apa lagi. Dan juga masak itu pake perasaan, ketika menuangkan bumbu kedalam masakan harus memakai perkiraan yang pas dengan perasaan tentunya. So itu dia kenapa masak lumayan recomended ketika kegiatan outdoor. Setelah masak selesai barulah kita sarapan, menu untuk sarapan pagi ini adalah yang shift pertama Roti goreng (semacam orang luar) yang susunya ketinggalan di tas ternyata, dengan kopi hitam. Baru yang shift kedua adalah tumis campur, terong balut telur, dan telur goreng. Lumayan buat menyangga perut ketika jalan. Sarapan selesai, lanjut beberes. Sebelum lokasi kita tinggalkan harus dalam keadaan bersih sesuai dengan kode etik pecinta alam “tidak boleh minggalkan apapun kecuali jejak kaki yang bertanggungjawab”.
      Harusnya kita berangkat lebih pagi, namun karena terlalu terlena menikmati malam sampai-sampai pagi pun masih dianggap malam, alhasil pukul 10.00 wib baru kita jalan lagi. Seperti perjalanan sebelumnya, kami menyusuri bukit terkadang kami menemukan jalan setapak, jalan yang sering digunakan warga untuk menuju ladang tegalan mereka. Terkadang kami juga bertemu bapak-bapak dan ibu-ibu yang akan pulang ke rumah ataupun sedang melakukan aktivitas. Setiap kami bertemu dengan seseorang tak ketinggalan kami menanyakan jalan menuju pantai sekaligus sedikit beramah tamah. Sebenarnya ketika kami melanjutkan perjalanan hampir menemui pantai, tapi pantai yang langsung menjorok ke laut lepas. Biasanya digunakan untuk tempat mancing terlihat banyak benang pancing disekitar. Namun kami langsung melanjutkan perjalanan kearah barat. 
      Pukul 11.30 akhirnya setelah kami menuruni bukit, kami menemukan pantai. Kami belum tau pasti apa nama pantai ini menurut orang yang di ladang yang sebelumnya kami temui ia mengatakan bahwa pantai ini adalah pantai Ngetun. Lokasinya cukup bersih dan sudah terdapat pengunjung meskipun hanya masyarakat lokal. Beberapa pemuda sedang asik bermain di pantai ini. Sudah ada gubug yang digunakan untuk parkir, saung, dan bak air meskipun tidak ada air dan tidak ada penelola, padahal jika dikelola dengan baik pasti akan ramai pengunjung. Sayang juga kalau pantai ini tidak dinikmati terlebih dahulu, kami pun memilih tempat dibawah pohon untuk menikmati secangkir kopi sebagai pelengkap suasana. Tak lupa sesi dokumentasi juga dilaksanakan, meskipun beberapa dari kami berpose yang sedikit maksa dan nulis-nulis nama di pasir.

Mapala UNY, Madawirna


Istirahat selesai, pukul 12.30 kami melanjutkan perjalanan lagi. Perjalan kali ini kami cukup menghindari tebing yang langsung berhadapan dengan pantai, lebih memilih untuk mengitari bukit dan melewati ladang penduduk. Tak lama kami menemukan rumah gubuk yang ada penghuninya. Kami diberitahu jalan untuk menuju ke pantai dan ada juga meminta air tadah hujan. Selanjutnya kami menyusuri jalan setapak untuk menuju jalan lebar yang sering disebut “ratan” oleh warga sekitar. Tak lama kamipun menemukan jalan lebar yang menuju ke pantai Celaan. Namun kami memutuskan tidak memasukinya karena hari semakin sore. Kami hanya menyeberani jalan lebar tersebut. perjalanan kami teruskan untuk melewati perbukitan. Namun tak ada pilihan lain ketika telah melewati satu bukit dan bukit lagi, kami harus berjalan di lereng bukit tersebut. memutari lerang dan menuruninya. Sebenarnya kami menemui pantai yang bertebing yang bernama Serah. Namun kami terus saja berjalan untuk mengejar waktu. Pun ketika menemui bukit lagi, kami lebih memilih untuk memutarinya.
        Terasa perjalanan lebih hari ini lebih melelahkan daripada kemarin. Ditambah dengan persediaan air yang makin lama makin menipis. Terasa sekali dihari pertama sangat dimanja dengan mata air alami dan ketika hari ke dua sangat minim air. Kami memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu untuk makan ringan dan mengistirahatkan badan. Setelah 30 menit, kami melanjutkan perjalana kembali. Terus saja kami berjalan dan ternyata kami semakin jauh dengan pantai, sampai akhirnya kami bertemu dengan bapak dan ibu yang sedang duduk-duduk di gubug mereka. Kami pun bertanya tentang jalan menuju pantai, berdasarkan jawaban bapak tersebut kami berjalan terlalu jauh dari pantai dan sebaiknya kami langsung menuju ke pemukiman mengingat waktu telah menunjukkan 15.30 wib. Sebenarnya jika kami terus berjalan melewati perbukitan kami akan bertemu dengan pantai Seruni, Tunene, dan Pok Tunggal. Namun kaki telah membawa badan untuk lebih mendekat ke desa. Jika kami berjalan keluar maka kami akan sampai di Kecamatan Tepus. Sesuai pernyataan si Bapak, waktu tempuh keluar sekitar 1 jam dengan jarak 4 km untuk sampai di “ratan ireng”. Istilah ini menjadi kosa kata baru bagi kami apalagi yang berasal dari luar Jogja, tak khayal istilah ini sering disebut-sebut Herman, salah satu dari kami yang bersal dari Tasik. Namun kami sedikit sanksi atas pernyataan si Bapak, karena biasanya masyarakat tegalan hanya memperkirakan jarak dengan waktu sesuai kemampuan mereka berjalan yang bisa jadi 2x lipat dari kemampuan orang pada umumnya. Akhirnya kamipun memutuskan untuk berjalan keluar menuju pemukiman. Benar, ternyata kami sampai di “ratan ireng” pukul 17.00, itu berarti kami berjalan 1 jam menuruti jalan setapak, namun jika diukur jarak tersebut tidak sampai 4 km. Karena saking senengnya Herman sampai guling-guling di jalan raya sambil teriak-teriak “ratan ireng”.
     Tak habis sampai sini, “ratan ireng” belum menjadi ending perjalanan kali ini. Bisa dibilang bingung dimana kami berada, pasalnya kami tiba tepat di tugu perbatasan yang tak bernama. Seorang ibu hanya mengatakan bahwa sebelah timur masuk tepus dan sebelah barat juga termasuk tepus. Selang beberapa menit terdapat truk pengangkut pasir lewat, kami menumpang sampai pertigaan desa Mulo. Karena mobil tersebut berseberangan tujuan dengan kami sesampainya di mulo. Tepat sampai di tempat yang strategis pertigaan mulo, ada warung mi ayam langsung saja kami sikat sembari menunggu jemputan. Melihat es teh seperti melihat mata air kembali, segelas es teh bisa jadi seteguk. Setelah mobil datang dan makan selesai kami langsung loading ke mobil untuk menuju ke Krakal, pantai dimana yang menjadi tujuan utama kami. Kami masih punya lopster sayang kalau tidak dimasak. Hanya sekedar menjadi penawar rasa kecewa karna tak dapat ikan, lopster pun bisa jadi penggantinya. Padahal lopsternya Cuma satu tapi yang nunggui masak semuanya, pun masak hanya pake genteng yang diambil dari atap saung dekat pantai bumbunya pun hanya jeruk nipis, tapi semua pada doyan. Lagi-lagi berbicara seni, seni ketika makan adalah ketika makanan sebiji kecil dimakan 8 kepala orang.
        Akhirnya petang datang dan kami harus kembali ke kampus agar sampai disana tidak terlalu malam. Mobil kijang yang berisikan 9 orang termasuk supir, termasuk juga barang-barang kami seperti mampu menghipnotis kami dengan musik dangdut koplonya. Tak lama setelah mobil jalan, dengan kondisi lelah semua jadi terlelap. Namun tak demikian dengan personil yang di kursi depan, tetap masih harus berkonsentrasi dengan jalan. Bau amis kepiting, bau sepatu, dan bau badan, semua bercampur jadi satu ditambah lagi dengan jalan yang berkelok naik turun mampu mengocok perut. Untung saja tak ada yang dapat jekpot seperti pas berangkat. Dan sampailah di kampus kembali sekitar pukul 21.00 wib dengan selamat, sehat dan tanpa kurang sesuatu apapun. Dan perjalanan kali ini masih akan berlanjut di episode berikutnya.

Berikut foto-foto perjalanan kami


Mapala UNY, Madawirna



Mapala UNY, Madawirna


Mapala UNY, Madawirna



Mapala UNY, Madawirna



Mapala UNY, Madawirna



Mapala UNY, Madawirna


Mapala UNY, Madawirna


Mapala UNY, Madawirna


Ditulis Oleh : Ebni Solikhah, B 1086