Sabtu 14 september 2013. Sedikit untuk melepaskan hiruk
pikuknya aroma perkotaan yang serba riuh dan sumpek, 8 personil (Krisna W,
Londo, Deky, Ncuz, Ebni, Herman, Ade & Ijah) satu diantaranya adalah
Koordinator FK UKM berangkat menuju Kabupaten Gunungkidul untuk menjelajahi
pantai pasir putih samudra hindia. Demi kelancaran dan keselamatan, tak lupa
kami berpamitan dan diantar dengan doa oleh beberapa warga Madawirna. 08.30 wib
roda mobil kijang berwarna hijau melaju ke tempat sasaran. Beberapa kali juga mampir
ke tempat belanja untuk membeli keperluan logistik. Pukul 11.30 tepatnya kami
telah sampai pantai siung setelah beberapa personil tergoncang perutnya akibat
jalan yang meliuk-liuk.
Sebelum memulai perjalanan kami makan siang dulu, mungkin bagi sebagian
personil adalah makan siang sekaligus makan pagi. Tapi tak apa, yang peting
makan buat ngisi energi. Setelah makan dan packing ulang, kami memulai
perjalanan dengan doa. Pukul 12.05 wib kami mulai menyisir pantai siung
diantara tebing-tebing yang curam dan bergerigi. Kami harus berhati-hati agar
tidak sampai terpeleset apalagi sampai kaki menancap dibatu. Sempat ada
bapak-bapak yang sedang mencari rumput memberi tahu kami jalur yang sebaiknya
dilalui. Kami pun segera melanjutkan perjalanan. Setelah melalui bukit yang
penuh pandan laut, akhirnya kami menemui sebuah pantai pada pukul 13.00 wib.
Pantai yang cukup sepi bahkan tanpa penghuni, yang kami tahu di plakat proyek pembangunan jalan tertera nama desa Tepus. Terdapat akses jalan roda 4 sampai ke tempat ini namun hanya corblok. Yang paling mengesankan di tempat ini adalah terdapat kubangan air, dan itu adalah sumber air tawar. Alirannya kecil namun lumayan cepat. Ketika kami diburu panas ternyata menemukan sumber air tawar seperti menemukan air di padangpasir. Kami menikmati suasana di pantai ini, duduk dibawah tumbuhan pandan laut yang sampai berbuah, dihantam semilirnya angin pantai, dan disuguhi segarnya mata air alami. Tapi kami tak boleh tebuai suasana, kami harus segera melanjutkan perjalanan karna ini baru secuil dari perjalanan kami.
Pantai yang cukup sepi bahkan tanpa penghuni, yang kami tahu di plakat proyek pembangunan jalan tertera nama desa Tepus. Terdapat akses jalan roda 4 sampai ke tempat ini namun hanya corblok. Yang paling mengesankan di tempat ini adalah terdapat kubangan air, dan itu adalah sumber air tawar. Alirannya kecil namun lumayan cepat. Ketika kami diburu panas ternyata menemukan sumber air tawar seperti menemukan air di padangpasir. Kami menikmati suasana di pantai ini, duduk dibawah tumbuhan pandan laut yang sampai berbuah, dihantam semilirnya angin pantai, dan disuguhi segarnya mata air alami. Tapi kami tak boleh tebuai suasana, kami harus segera melanjutkan perjalanan karna ini baru secuil dari perjalanan kami.
Pukul 13.30 wib, kami melanjutkan perjalanan, panas mulai menyengat dan kamiharus tetap berjalan menjalankan misi ini, terus berjalan meskipun pelan-pelan
karna ini tujuannya adalah untuk senang-senang. Kami terus menyusuri bukit yang
tak berjalan. Tak lama kemudian setelah menuruni bukit, kami menemukan air
terjun yang sering disebut Air Terjun Grujukan Manten pada pukul 13.50 wib.
Ditempat ini sudah ada pedagang. Akses jalan roda 4 pun ada, meskipun baru
corblok. Menurut salah satu pemilik warung sekitar, tempat ini bernama pantai Jogan. Tak lupa kami langsung masuk ke sesi dokumentasi, pose dengan
membelakangi pantai lepas masih jadi pose favorit.
Pukul 14.10 wib kaki masih harus menapaki perbukitan gersang untuk menuju
pantai selanjutnya. Tak ada bayangan sedikitpun dari kami tentang apa yang akan
kami lewati dan pantai apa yang akan kami temui selanjutnya, semua hanya
bersadarkan perkiraan logika. Di etape kali ini, beberapa kali menaiki bukit
dan bisa melihat tebing-tebing yang dihantam oleh ombak dengan jelas. Ketika
itu kami juga sempat merasakan hawa gunung di lereng bukit pinggir tebing
pantai karena terdapat rumput ilalang yang masih berbunga. Ternyata setelah 50
menit kami berjalan belum juga menemukan pantai, akhirnya kami putuskan untuk
istirahat dulu sekedar untuk bersembunyi diteriknya matahari karna kami
berjalan menghadap kearah matahari. Diatas tebing pantai yang dikelilingi redup
pandan laut, kopi hitam turut memberikan kenikmatan. 1 jam istirahat terasa
cepat bagi kami dan cukup memberikan efek “PW” apalagi ditambah candaan yang
tak usai-usai atas julukan yang kami berikan kepada salah satu personil sebagai
“Putri Kulonprogo”. Namun lagi-lagi kami tak boleh larut dalam suasana, kami
harus segera menjunjung badan lagi menyusuri berbukitan pantai ini.
Pukul 16.00 wib kami lanjutkan kembali perjalanan. Perjalanan ini lumayan
menguras tenaga karena selama satu jam kami harus memutari bukit, menaiki
bukit, berjalan di ladang orang. Terkadang kami juga bertemu dengan seseorang
yang sedang berladang, mereka dengan senang hati memberikan petunjuk kepada
kami meskipun terkadang kami juga tidak tahu arah mana dan tempat apa yang
dibicarakan. Namun kami tetap memperkirakan sendiri bagaimana cara agar mencapai
target tempat yang akan dituju. Pukul 17.00 wih akhirnya kami tiba di pantai
Timang. Sesuai dengan rencana pukul 17.00 wib kami harus istirahat. Pantai ini
telah menjadi tujuan wisatawan domestik. Terbukti telah ada MCK yang disediakan
untuk pengunjung, meskipun untuk menuju pantai dari jalan harus berjalan kaki
±150 meter. Yang unik dari tempat ini adalah pasir yang berwarna agak
kemerahan. Selain itu juga pengunjung bisa menyeberang ke bongkahan batu besar
di seberang tebing, masyarakat menyebutnya pulau. Pengunjung tak harus membayar
untuk menyeberang kesana. Namun harus berhati-hati dilintasan tersebut karena
bisa basah terkena pecahan ombak yang menghambur mengenai keranjang tembat
penyeberangan yang ditumpangi pengunjung.
Setelah sampai di pantai Timang dan berorientasi sebentar kami putuskan malam
ini kami harus menginap disini. Lebih tepatnya camping di pinggir pantai
(Uyeeeee...!!! berasa anak pantai). Lanjut kami masak berjamaah, masak masih
menjadi aktivitas yang menarik untuk dilakoni ketika camping. Karena banyaknya
personil kami harus membagi peran. Ada tim nasi, sayur, dan sambal. Meskipun
masak di lapangan tak segampang dan sepraktis di dapur rumah, namun justru itu
yang manjadi seninya seperti yang diucapkan personil tertua (red: Mas Krisna
W), “masak itu harus ribet”. Untuk menu kali ini adalah sayur campur bakso,
sambel teri, dan tempe goreng. Mmmm... yummi!! Setelah makan apalagi yang
dilakukan kecuali menyalakan api unggun dan menikmati malam. Namun tak diduga
cuaca menjadi buruk, langit tertutup mendung, tak ada satu bintang pun yang
muncul. Cuaca semakin suram dengan permainan gerimis yang kadang turun, kadang
berhenti. Api unggun tetap menyala dan beberapa dari kami tetap bertahan,
berharap cuaca buruk hanya lewat saja. Namun semakin larut ternyata malah
semakin buruk, hujan turun dan semua sibuk membereskan perlengkapan. Tenda yang
kami bawa hanya 1 dan sudah dihuni 4 orang perempuan, sedangkan 4 laki-laki
bertarung dengan cuaca dan mencari tempat pertahanan J 2 diteras tenda dan 2 lainnya
membuat bivak dibawah pohon sekitar. Penulis hanya bisa bercerita sebatas
pandangan mata. Yang jelas semua tentu punya cerita masing-masing tentang malam
yang dilewati entah itu suka ataupun super suka atau malah sebaliknya.
Pagipun menyapa dan masih dengan cuaca mendung ringan. Mungkin ini pertanda
baik untuk kami agar perjalanan selanjutnya tidak terlalu kepanasan. Terlihat
anak-anak masih pulas tidurnya, mungkin karna efek dipermainkan oleh hujan
semalam. Seperti biasa, untuk mengisi energi sebelum melanjutkan perjalanan
kami harus masak terlebih dahulu. Masak adalah agenda terpenting jika
dilapangan, kenapa? Karna kalau ada yang tidak bisa masak jadi tahu caranya
masak. Masak juga memerlukan kerja tim dimana ketika Si Anu mengerjakan ini
maka Si Ini harus mengerjakan apa lagi. Dan juga masak itu pake perasaan,
ketika menuangkan bumbu kedalam masakan harus memakai perkiraan yang pas dengan
perasaan tentunya. So itu dia kenapa masak lumayan recomended ketika kegiatan
outdoor. Setelah masak selesai barulah kita sarapan, menu untuk sarapan pagi
ini adalah yang shift pertama Roti goreng (semacam orang luar) yang susunya
ketinggalan di tas ternyata, dengan kopi hitam. Baru yang shift kedua adalah
tumis campur, terong balut telur, dan telur goreng. Lumayan buat menyangga
perut ketika jalan. Sarapan selesai, lanjut beberes. Sebelum lokasi kita
tinggalkan harus dalam keadaan bersih sesuai dengan kode etik pecinta alam
“tidak boleh minggalkan apapun kecuali jejak kaki yang bertanggungjawab”.
Harusnya kita berangkat lebih pagi, namun karena terlalu terlena menikmati malam sampai-sampai pagi pun masih dianggap malam, alhasil pukul 10.00 wib baru kita jalan lagi. Seperti perjalanan sebelumnya, kami menyusuri bukit terkadang kami menemukan jalan setapak, jalan yang sering digunakan warga untuk menuju ladang tegalan mereka. Terkadang kami juga bertemu bapak-bapak dan ibu-ibu yang akan pulang ke rumah ataupun sedang melakukan aktivitas. Setiap kami bertemu dengan seseorang tak ketinggalan kami menanyakan jalan menuju pantai sekaligus sedikit beramah tamah. Sebenarnya ketika kami melanjutkan perjalanan hampir menemui pantai, tapi pantai yang langsung menjorok ke laut lepas. Biasanya digunakan untuk tempat mancing terlihat banyak benang pancing disekitar. Namun kami langsung melanjutkan perjalanan kearah barat.
Pukul 11.30 akhirnya setelah kami menuruni bukit, kami menemukan pantai. Kami belum tau pasti apa nama pantai ini menurut orang yang di ladang yang sebelumnya kami temui ia mengatakan bahwa pantai ini adalah pantai Ngetun. Lokasinya cukup bersih dan sudah terdapat pengunjung meskipun hanya masyarakat lokal. Beberapa pemuda sedang asik bermain di pantai ini. Sudah ada gubug yang digunakan untuk parkir, saung, dan bak air meskipun tidak ada air dan tidak ada penelola, padahal jika dikelola dengan baik pasti akan ramai pengunjung. Sayang juga kalau pantai ini tidak dinikmati terlebih dahulu, kami pun memilih tempat dibawah pohon untuk menikmati secangkir kopi sebagai pelengkap suasana. Tak lupa sesi dokumentasi juga dilaksanakan, meskipun beberapa dari kami berpose yang sedikit maksa dan nulis-nulis nama di pasir.
Pukul 11.30 akhirnya setelah kami menuruni bukit, kami menemukan pantai. Kami belum tau pasti apa nama pantai ini menurut orang yang di ladang yang sebelumnya kami temui ia mengatakan bahwa pantai ini adalah pantai Ngetun. Lokasinya cukup bersih dan sudah terdapat pengunjung meskipun hanya masyarakat lokal. Beberapa pemuda sedang asik bermain di pantai ini. Sudah ada gubug yang digunakan untuk parkir, saung, dan bak air meskipun tidak ada air dan tidak ada penelola, padahal jika dikelola dengan baik pasti akan ramai pengunjung. Sayang juga kalau pantai ini tidak dinikmati terlebih dahulu, kami pun memilih tempat dibawah pohon untuk menikmati secangkir kopi sebagai pelengkap suasana. Tak lupa sesi dokumentasi juga dilaksanakan, meskipun beberapa dari kami berpose yang sedikit maksa dan nulis-nulis nama di pasir.
Istirahat selesai, pukul 12.30 kami melanjutkan perjalanan lagi. Perjalan kali
ini kami cukup menghindari tebing yang langsung berhadapan dengan pantai, lebih
memilih untuk mengitari bukit dan melewati ladang penduduk. Tak lama kami
menemukan rumah gubuk yang ada penghuninya. Kami diberitahu jalan untuk menuju
ke pantai dan ada juga meminta air tadah hujan. Selanjutnya kami menyusuri
jalan setapak untuk menuju jalan lebar yang sering disebut “ratan” oleh warga
sekitar. Tak lama kamipun menemukan jalan lebar yang menuju ke pantai Celaan.
Namun kami memutuskan tidak memasukinya karena hari semakin sore. Kami hanya
menyeberani jalan lebar tersebut. perjalanan kami teruskan untuk melewati
perbukitan. Namun tak ada pilihan lain ketika telah melewati satu bukit dan
bukit lagi, kami harus berjalan di lereng bukit tersebut. memutari lerang dan
menuruninya. Sebenarnya kami menemui pantai yang bertebing yang bernama Serah.
Namun kami terus saja berjalan untuk mengejar waktu. Pun ketika menemui bukit
lagi, kami lebih memilih untuk memutarinya.
Terasa perjalanan lebih hari ini lebih melelahkan daripada kemarin. Ditambah
dengan persediaan air yang makin lama makin menipis. Terasa sekali dihari
pertama sangat dimanja dengan mata air alami dan ketika hari ke dua sangat
minim air. Kami memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu untuk makan ringan
dan mengistirahatkan badan. Setelah 30 menit, kami melanjutkan perjalana kembali.
Terus saja kami berjalan dan ternyata kami semakin jauh dengan pantai, sampai
akhirnya kami bertemu dengan bapak dan ibu yang sedang duduk-duduk di gubug
mereka. Kami pun bertanya tentang jalan menuju pantai, berdasarkan jawaban
bapak tersebut kami berjalan terlalu jauh dari pantai dan sebaiknya kami
langsung menuju ke pemukiman mengingat waktu telah menunjukkan 15.30 wib.
Sebenarnya jika kami terus berjalan melewati perbukitan kami akan bertemu
dengan pantai Seruni, Tunene, dan Pok Tunggal. Namun kaki telah membawa badan
untuk lebih mendekat ke desa. Jika kami berjalan keluar maka kami akan sampai
di Kecamatan Tepus. Sesuai pernyataan si Bapak, waktu tempuh keluar sekitar 1
jam dengan jarak 4 km untuk sampai di “ratan ireng”. Istilah ini menjadi kosa
kata baru bagi kami apalagi yang berasal dari luar Jogja, tak khayal istilah
ini sering disebut-sebut Herman, salah satu dari kami yang bersal dari Tasik.
Namun kami sedikit sanksi atas pernyataan si Bapak, karena biasanya masyarakat
tegalan hanya memperkirakan jarak dengan waktu sesuai kemampuan mereka berjalan
yang bisa jadi 2x lipat dari kemampuan orang pada umumnya. Akhirnya kamipun
memutuskan untuk berjalan keluar menuju pemukiman. Benar, ternyata kami sampai
di “ratan ireng” pukul 17.00, itu berarti kami berjalan 1 jam menuruti jalan
setapak, namun jika diukur jarak tersebut tidak sampai 4 km. Karena saking
senengnya Herman sampai guling-guling di jalan raya sambil teriak-teriak “ratan
ireng”.
Tak habis sampai sini, “ratan ireng” belum menjadi ending perjalanan kali ini.
Bisa dibilang bingung dimana kami berada, pasalnya kami tiba tepat di tugu
perbatasan yang tak bernama. Seorang ibu hanya mengatakan bahwa sebelah timur
masuk tepus dan sebelah barat juga termasuk tepus. Selang beberapa menit
terdapat truk pengangkut pasir lewat, kami menumpang sampai pertigaan desa
Mulo. Karena mobil tersebut berseberangan tujuan dengan kami sesampainya di
mulo. Tepat sampai di tempat yang strategis pertigaan mulo, ada warung mi ayam
langsung saja kami sikat sembari menunggu jemputan. Melihat es teh seperti
melihat mata air kembali, segelas es teh bisa jadi seteguk. Setelah mobil
datang dan makan selesai kami langsung loading ke mobil untuk menuju ke Krakal,
pantai dimana yang menjadi tujuan utama kami. Kami masih punya lopster sayang
kalau tidak dimasak. Hanya sekedar menjadi penawar rasa kecewa karna tak dapat
ikan, lopster pun bisa jadi penggantinya. Padahal lopsternya Cuma satu tapi
yang nunggui masak semuanya, pun masak hanya pake genteng yang diambil dari
atap saung dekat pantai bumbunya pun hanya jeruk nipis, tapi semua pada doyan.
Lagi-lagi berbicara seni, seni ketika makan adalah ketika makanan sebiji kecil
dimakan 8 kepala orang.
Akhirnya petang datang dan kami harus kembali ke kampus agar sampai disana
tidak terlalu malam. Mobil kijang yang berisikan 9 orang termasuk supir,
termasuk juga barang-barang kami seperti mampu menghipnotis kami dengan musik
dangdut koplonya. Tak lama setelah mobil jalan, dengan kondisi lelah semua jadi
terlelap. Namun tak demikian dengan personil yang di kursi depan, tetap masih
harus berkonsentrasi dengan jalan. Bau amis kepiting, bau sepatu, dan bau
badan, semua bercampur jadi satu ditambah lagi dengan jalan yang berkelok naik
turun mampu mengocok perut. Untung saja tak ada yang dapat jekpot seperti pas
berangkat. Dan sampailah di kampus kembali sekitar pukul 21.00 wib dengan
selamat, sehat dan tanpa kurang sesuatu apapun. Dan perjalanan kali ini masih
akan berlanjut di episode berikutnya.