Senin, 15 Agustus 2016

Hidden Paradise di Ujung Timur Pantai Selatan Gunung Kidul

Hangatnya terik matahari di siang hari waktu itu, tanggal 9-11 Agustus 2016 tidak menyurutkan semangat kami yang terdiri dari saya (Inggit), Mbak Beluk (Diah), serta 2 orang purna warga Mas Krisna dan Mas Coy menuju pesisir timur Gunung Kidul untuk berkegiatan susur pantai. Pukul 13.00 WIB kami berangkat dari rumah Mas Krisna yang bertempat di Jl.Wonosari KM 9 menuju Pantai Sadeng. Kami sampai di Pantai Sadeng pukul 15.30 WIB. Kapal-kapal nelayan serta kapal patroli yang berjajar rapi di bibir pantai menambah keindahan pantai ini, ditambah mercusuar yang berdiri gagah serta batu-batu semen pemecah ombak yang tersusun rapi. Tidak lupa, disini kami mengabadikan keindahan pantai ini serta beristirahat sejenak sambil menikmati segarnya es teh.

Mercusuar di pantai Sadeng

Pukul 16.00 WIB kami menyudahi menikmati keindahan Pantai Sadeng dan melanjutkan perjalanan menuju pantai-pantai indah lainnya. Kami menuju Pantai Krokoh. Jalan menuju pantai ini membuat kami seperti di arena off-road. Pukul 16.30 WIB kami sampai di SongBanyu tepatnya di rumah Bapak Suparmo guna menitipkan motor karena kami akan menyusuri pantai selama 3 hari 2 malam. Dari rumah beliau, kami berjalan kaki selama setengah jam untuk sampai di Pantai Krokoh. Sesampainya di Pantai Krokoh, tak seorangpun disana, melainkan hanya kami berempat. Pemandangannya sungguh indah. Perpaduan antara pasir pantai, batu-batu, tebing, tumbuhan-tumbuhan pantai serta deburan ombak sangat memanjakan mata kami, ditambah suasana sore hari yang teduh seketika menghilangkan rasa lelah kami. Pantai ini benar-benar masih “perawan”, tak ada tanda-tanda kehidupan manusia disini. 

Welcome to private beach mbrong.. 
Penampakan Pantai Krokoh
Iki lho sing jenenge vitamin sea.

Setelah tekagum dengan keindahan pantai ini, kami membangun dome lalu masak, tidak lupa hammock-hammock dipasang untuk bersantai dan untuk tidur. Setelah masakan matang, kami langsung makan malam ditemani bulan, bintang-bintang dan suara ombak. Malam itu begitu indah sehingga membuat kami enggan untuk melewatkannya sehingga kami tidur larut malam. Disana, kami menikmati malam dengan menikmati hangatnya kopi, susu, serta hangatnya wejangan-wejangan yang diberikan para purna kepada saya dan mbak beluk. 


Anak wedok lagi nginjek-injek balungan tua bapake
         Malam semakin larut dan indah, bintang semakin banyak, ombak semakin pasang, dan bulan semakin terang, tapi apalah daya saya sudah sangat mengantuk sehingga saya masuk dome dan tidur.
Matahari sudah memancarkan sinarnya, lalu kami masak kemudan makan dan packing untuk melanjutkan perjalanan. Pukul 10.00 WIB kami memulai perjalanan menuju pantai selanjutnya. Kami berjalan ke arah timur melewati ladang warga dan memutari bukit. Tak ada 15 menit kami sampai di Pantai Jujugan, tetapi kami hanya diatasnya karena pantai ini sangat kecil dan tidak ada akses untuk ke bibir pantai. Selanjutnya, kami berjalan lagi ke arah timur memutari bukit dan melewati ladang warga. Di perjalanan menuju pantai selanjutnya, kami menemukan enter gua cukup besar lalu kami eksplore dan ternyata hanya chamber.

Mulut Gua tampak depan

Tak jauh dari situ, kami menemukan pohon besar yang indah, banyak bunganya, pohon itu bernama pohon dadap. Dari pandangan kami terlihat 3 pohon dadap besar berjajar lurus dan pohon ini dikenal sebagai batas antara Gunung Kidul dan Wonogiri, disini juga terdapat tugu kecil pembatas 2 wilayah tersebut.


Pohon Dadap
Tugu Batas Propinsi DIY-Jateng

Tidak lama kemudian kami sampai di Pantai Dadapan. Pantai ini juga masih “perawan”, kami disini hanya bertemu dengan 2 orang yang sedang memancing, tak ada wisatawan satupun. Pantai ini sungguh menawan dengan batu-batu indah yang terkikis ombak, pasir yang sangat bersih, dan ombak yang besar. Siang itu sungguh panas sehingga kami beristirahat sejenak dengan berteduh di pohon dan menikmati segarnya jeruk serta memandang pemandangan pantai dadapan yang menakjubkan.\


Cantik dan manisnya Pantai Dadapan

Setelah cukup menikmati pantai ini, kami melanjutkan perjalanan. Tak sampai 10 menit kami sampai di Pantai Banyu Kesirat. Akses menuju bibir pantai ini lumayan menantang, tetapi pemandangan yang disuguhkan sungguh menawan..

Terlalu indah jika hanya melewatinya, lungguh-lungguh sik lah.... * Pantai Banyu kesirat

Setelah itu kami berjalan lagi ke timur, memutari bukit dan 20 menit kami sampai di Pantai Klokop. Di pantai ini terdapat bangunan yang sepertinya dulu bekas dermaga, di pantai ini kami beristirahat sejenak sambil menikmati segarnya air kelapa muda hasil panjatan Mas Coy. Setelah itu, kami berjalan ke timur menaiki bukit, dan kami melihat ada bangunan tak beratap di atas bukit. Setelah sampai di atas bukit, kami menemukan lantai berkeramik yang cukup besar dan cocok untuk beristirahat. Disana terlihat jelas bukit-bukit hijau yang tersusun indah, pantai Klokop dan Pantai Sembukan, serta birunya laut lepas. Sungguh indah ciptaan Tuhan. Rasanya ingin berlama-lama di tempat itu.

Add caption
Lukisan Tuhan memang lebih dari indah... * pantai Sembukan

Kemudian kami menuju Pantai Sembukan. untuk menuju Pantai ini aksesnya sangat mudah, sudah ada tangga yang tersusun rapi menuju bibir pantai. Pukul 15.00 WIB kami sampai di pantai Sembukan. Pantai ini sudah merupakan tempat wisata, fasilitasnya pun sudah lengkap. Kami langsung beristirahat sambil menikmati segarnya es teh di warung. Sambil beristirahat, kami menikmati music yang diciptakan dari benturan ombak dengan tebing, dan angin yang membuat saya terlelap. Tak terasa sudah pukul 16.30 WIB dan karena tidak ada tempat yang recommended untuk membangun dome di dekat bibir pantai maka kami menuju taman yang luasnya cukup lebar tetapi disini tidak dapat melihat pantai. Disini kami masak-masak dan barbequean bermodalkan sosis toples dan kecap. Karena disini memungkinkan untuk memasang beberapa hammock dan dekat tempat berteduh maka kami tidak mendirikan dome.

Dome gak ada esensinya disini. Hihihi

Setelah makan, saya tiduran di hammock sambil menikmati indahnya bintang-bintang yang indahnya sama seperti bintang-bintang yang saya lihat di Pantai Krokoh. Saya dan mbak Beluk tiduran di hammock sementara Mas Krisna dan Mas Coy mengobrol sambil ngopi dan ngrokok. Tak terasa saya tertidur dan terbangun sekitar tengah malam, terlihat Mas Krisna, Mas Coy, dan seorang bapak tua sedang mengobrol asik. Entah apa yang mereka obrolkan, pastinya obrolan senior yang mungkin saya belum paham. Hehe. Di pagi harinya, kami berencana ingin masak tapi apa daya air kami habis dan harus menunggu warung buka. Karena sudah sangat lapar, terpaksa kami memasak mie dengan air laut, dan rasanya lumayan membuat kami jadi lebih melek karena asinnya mie yang kami masak. Setelah menunggu lama, akhirnya warung buka dan kami memborong air yang ada di warung tersebut. Kemudian kami memasak masakan yang benar-benar masakan. Setelah makan, kami packing dan kembali ke Pantai Krokoh kembali. Kami berangkat pukul 11.00 WIB dari Pantai Sembukan, berjalan dan sampai di Pantai Klokop pukul 11.15 WIB. Setelah melewati Pantai Jujugan, ada 2 cabang, 1 ke arah Pantai Krokoh dan yang 1 ke arah yang dilihat dari jauh terlihat keindahan yang sayang sekali kalau tidak dikunjungi. Lalu kami kesana. Setibanya disana, terlihat batu karang yang besar-besar yang bisa kami pijak dan dari situ terlihat hamparan laut luas dan pantai Jujugan.

Surga dunia banget kan mbrong....* Pantai Jujugan
Lihat deh, jadi bumi itu datar atau bulat..? wkwk
                 
        Lumayan lama kami menikmati indahnya ciptaan Tuhan di tempat itu. Setelah puas, kami melanjutkan perjalanan pulang. Kami sampai di rumah pak pukul WIB, beristirahat sebentar sambil jagongan dengan tuan rumah lalu pulang menuju secretariat tercinta Madawirna. Susur pantai kala itu membuat saya pribadi bangga menjadi warga Yogyakarta yang memiliki surga-surga tersembunyi, dan saya sebagai pecinta alam berharap siapapun yang mengunjungi surge-surga tersebut selalu menjaga keperawanan lingkungannya dan saya sangat bersyukur diberi kenikmatan oleh Allah SWT dapat merasakan indahnya surge-surga dunianya. Salam lestari.

Oleh: Inggit Rachmawati (B-1146)